Dewan Pers: Revisi Kedua UU ITE Berpotensi Ancam Kemerdekaan Pers

  • Bagikan

Jakarta, SV – Ketua Dewan Pers Ninik Rahayu menyoroti tentang revisi kedua UU ITE atau UU No. 11 Tahun 2008 tentang informasi dan transaksi elektronik yang telah disahkan DPR RI dan Pemerintah.

Revisi kedua UU ITE atau UU No. 11 Tahun 2008 tersebut disahkan pada 6 Desember 2023 lalu. Dengan disetujuinya revisi kedua UU ITE tersebut berpotensi mengancam kemerdekaan pers dan kemerdekaan berekpresi masyarakat.

Revisi kedua UU ITE tersebut dinilai tidak memberikan perubahan yang signifikan terhadap pasal-pasal yang selama ini menjadi ancaman dalam kemerdekaan pers.

“Pasal-pasal itu secara tidak langsung dapat disalahgunakan oleh pihak-pihak tertentu untuk membungkam pers, yang pada akhirnya akan menciderai upaya mewujudkan negara demokratis,” demikian kata Ketua Dewan Pers, Ninik Rahayu dalam siaran persnya, Sabtu (9/12/23).

Untuk itu, Dewan Pers mengajak kepada masyarakat dan seluruh komunitas pers untuk bergerak dalam mengkritisi dan mengambil sikap terhadap revisi kedua UU ITE tersebut.

“Langkah kongkret perlu diambil untuk mencegah terjadinya kriminalisasi pers atas UU ITE atau UU lainnya yang masih mengancam kemerdekaan pers,” ujar Ninik.

Selain itu, Ninik mengungkapkan bahwa ancaman lainnya terdapat pada Pasal 28 ayat (1) dan (2) yang mengancam pelaku penyebaran berita bohong dan SARA yang dapat menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan. “Setiap orang yang melanggar pasal tersebut dapat dihukum penjara enam tahun dan denda Rp 1 miliar,” ungkapnya.

Menurutnya, pasal-pasal dalam revisi kedua mengenai penyebaran kebencian dan penghinaan, mengingatkan pada haatzaai artikelen dalam KUHP yang mengandung ancaman sanksi pidana bagi yang menyatakan perasaan, penghinaan, kebencian dan permusuhan kepada pemerintah atau negara.

“Dengan dikuatkan KUHP baru, maka pasal karet produk kolonial menjadi suatu produk hukum nasional yang sebenarnya sudah tidak diberlakukan berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi,” terangnya.

Dapat dilihat dalam revisi kedua UU ITE pada pasal 27A, 27B dan pasal 28 ayat (1) bahwa dapat berpotensi mengebiri pers sebagai karya jurnalistik dalam mendistribusikan informasi elektronik menggunakan internet terkait kasus-kasus korupsi, manipulasi dan sengketa.

“Dengan ancaman hukuman penjara enam tahun, dan kepolisian dapat menahan setiap orang selama 120 hari termasuk wartawan atas tuduhan penyebaran berita bohong,” tuturnya.

Hal tersebut, bisa secara tidak langsung disalahgunakan oleh pihak tertentu untuk membungkam pers dan menciderai terwujudnya negara demokrasi.

Dalam hal ini, Dewan Pers menilai pasal yang terdapat dalam UU ITE tidak dapat digunakan terhadap produk pers dalam karya jurnalistik yang sudah sangat tegas dan jelas diatur dalam UU No. 40 tahun 1999.

“Implementasi UU ITE sudah diatur dalam Pedoman Implementasi UU ITE No. 229 tahun 2021 dalam Keputusan Bersama Menkominfo, Jaksa Agung dan Kapolri,” ucapnya.

Dalam pedoman tersebut menegaskan bahwa untuk pemberitaan di internet yang dilakukan perusahaan pers diatur dalam UU Pers, dan diberlakukan mekanisme sesuai UU Pers sebagai Lex Spesialis, bukan UU ITE.

“Permasalahan terkait pers, perlu melibatkan peranan Dewan Pers,” tegasnya.

Tantangan berat pers kedepannya, di dalam pedoman No. 229 Tahun 2021 tersebut justru akan membuka celah penafsiran yang dapat membelenggu kemerdekaan pers.

Sehingga Dewan Pers, menilai legislasi revisi kedua UU ITE tidak transparan dan terbuka dalam melibatkan partisipasi publik secara luas.

“Hal ini kita menunjukan ketidakseriusan eksekutif dan legislatif untuk menjalankan UU No. 12 tahun 2011 tentang pembentukan peraturan perundang-undangan yang telah dirubah menjadi UU No. 13 tahun 2022.

Bahkan naskah dari revisi kedua UU ITE yang telah disahkan DPR RI dan pemerintah juga sulit didapatkan,” pungkasnya

  • Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *